Senin, 20 Desember 2010

Gejala Old Public Administration yang Masih Tertinggal


            Indonesia merupakan Negara yang sudah terkenal dengan sistem demokrasinya. Bahkan sejak era reformasi, demokrasi menjadi suatu tuntutan agung bagi masyarakat yang telah terkungkung selama 32 tahun oleh pemerintahan orde baru yang berlawanan dengan demokrasi itu sendiri. Lalu apa kaitannya antara demokrasi dengan birokrasi yang dijalankan di Indonesia?
            Tiga puluh dua tahun adalah masa yang tidak sedikit untuk dapat membentuk karakter masyarakat sebuah bangsa. Dampak pemerintahan yang telah berjalan pada masa itu masih meninggalkan jejak-jejaknya dan terikat kuat oleh para birokrat kita hingga pada era demokrasi ini. Contoh nyata yang masih dapat kita rasakan adalah red-tape birokrasi, yaitu birokrasi yang berbelit-belit, KKN, lamban, tidak sensitif terhadap kebutuhan rakyat, tidak efisien, prosedur yang panjang dan rumit, sikap enggan melayani, tertutup, dan lain sebagainya. Yaitu ketika birokrasi di Negara ini memiliki keberpihakan pada salah satu partai politik (Golkar).
            Red tape birokrasi ini jelas sangat bertentangan dengan sistem pemerintahan Indonesia yang konon katanya adalah demokrasi. Apakah demokrasi disini hanya digunakan pada sistem pemilihan umum?? Namun kemudian dalam menjalankan tugasnya mereka masih menganut gaya pemerintahan zaman orde baru??
            Salah satu contoh red tape yang saya alami ialah sebagai berikut. Suatu saat saya pergi ke Kantor Kelurahan untuk meminta tanda tangan Pak Lurah dan stempel kelurahan. Saat itu sekitar jam 11 siang, namun ternyata beliau sudah pulang menurut salah satu pegawai. Kemudian stempelnya pun beliau bawa. Alhasil saya tidak jadi memperolehnya pada hari itu. Ya, ketidakdisiplinan masih hinggap pada birokrat kita. Ketika jam dinas masih berjalan, mereka bisa pergi begitu saja tanpa merasa beban meninggalkan tugasnya. Dan alangkah banyak ketidakdisiplinan yang terjadi di instansi pemerintahan lain dimana para pegawainya masuk terlambat dan atau pulang lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan.
            Selain itu, yang sering kita dengar ialah  korupsi. Hal ini telah menjadi rahasia umum yaitu para birokrat sering terlibat di dalamnya dan menjadi pelaku, baik yang sudah diketahui maupun yang belum terungkap kasusnya. Jika moralitas tak kunjung membaik, maka tujuan penyelengaraan pemerintahan pun tak kunjung tercapai.
            Ketika dahulu semua lapisan  masyarakat sangat berjuang untuk meruntuhkan pemerintahan yang sentralistik dan otoriter, lalu apa sebenarnya yang ingin mereka raih kalau bukan berjalannya demokrasi dengan salah satu wujudnya seperti otonomi daerah.
            Otonomi daerah adalah wujud dari pemerintahan yang demokrasi. Ketika kewenangan yang dulu dipegang oleh pemerintah pusat, kini dilimpahkan kepada pemerintahan daerah yang dianggap sebagai pemerintah yang paling dekat aksesnya dengan rakyat dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun ketika otonomi ini sudah dijalankan, kemudian banyak pula terjadi penyimpangan oleh pemerintah daerah itu sendiri. Seolah jika dahulu hanya pusat saja yang bisa korupsi, tapi sekarang pejabat di tingkat daerah juga bisa ambil bagian. Inilah ironinya. Dan banyak fakta yang telah membuktikan, seperti salah satu contoh ialah di daerah saya di Kabupaten Brebes. Bupati yang memperoleh amanah dari rakyat untuk menjalankan  dua kali masa jabatan ini terdakwa menjadi pelaku korupsi atas pengadaan tanah untuk pembangunan Pasar Brebes dengan kerugian Negara Rp 7,8 miliar ,  kini sudah nonaktif dari jabatannya dan divonis 2 tahun bui. (http://m.detik.com)
            Pokok masalah yang masih mengakar adalah karakter pemerintahan sentralistik para birokrat yang menjalankan roda pemerintahan, atau disebut Old Public Administration (OPA). Jika pola pikir yang terbentuk masih dalam paradigma tersebut, maka sampai kapan pun sistem yang ada tak akan memberi kemajuan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ibaratnya seperti mobil bekas yang dipoles sedemikian rupa tampilannya sehingga terlihat baru, namun pada hakikatnya berkarat dan keropos dimana-mana. Mobil itu bisa berjalan, tapi selalu mogok dan mengalami perbaikan karena kerusakan yang diderita.
            Untuk memperoleh tatanan birokrasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman ialah dengan menerapkan paradigma New Publik Service (NPS) atau Layanan Publik Baru . Paradigma ini berdasarkan citizen/ warga Negara,  demokrasi, dan pelayanan kepentingan umum sebagai alternative model yang kini dominan yang didasarkan pada teori ekonomi dan kepentingan pribadi. Teori-teori, nilai, dan keyakinan adalah apa yang memfasilitasi atau menghambat jenis tindakan tertentu. Paradigm ini cair, tidak hanya tentang bagaimana kita melihat warga yang dilayani tapi juga perubahan dalam cara birokrat melihat dirinya sendiri dan tanggung jawab mereka, bagaimana mereka memperlakaukan satu sama lain, bagaimana mereka mendefinisikan tujuan dan sasaran, bagaimana pemerintah mengevaluasi diri sendiri dan yang lain, bagaimana pemerintah membuat keputusan, bagaimana mereka memandang kesuksesan dan kegagalan, bagaimana mereka berpikir tentang legitimasi tindakan mereka. Ini adalah perhatian pemerintah pada cita-cita demokrasi dan kepentingan publik, kewarganegaraan dan martabat manusia, pelayanan dan komitmen sebagai dasar dari segala yang pemerintah atau birokrat lakukan.
            Jadi, birokrasi pascareformasi ini harus mengikuti perkembangan yang ada. Ketika masyarakat semakin maju dengan pemikiran dan peradabannya, maka akan semakin besar tuntutan mereka untuk dapat mengakses pelayanan birokrasi yang memuaskan, efektif dan efisien.